Sudah
bukan rahasia umum, kalau silaturahmi itu memperpanjang umur. Lah, gimana lagi
itu rahasia tapi informasi tersebut menjadi konsumsi masyarakat umum? Heuheuheu
Hampir
menjadi kebenaran yang diyakini oleh masyarakat sekitar kita bahwa berkunjung,
bercengkrama serta tertawa bersama rekan mampu memperjangkan umur. Saya sepenuhnya
menyetujui hal tersebut jika umur dimaknai sebagai lama waktu seseorang
dikenang dan atau di ingat oleh orang-orang di sekitanya, bukan seperti usia
yang dimaknai sebagai waktu seseorang melakukan perjalanan di dunia mulai dari
menghirup udara untuk pertama kali sampai menghembuskan nafas untuk yang
terakhir kalinya.
Iya,
bagi saya usia dan umur memiliki dua hal yang sedikit memiliki perbedaan
terutama di batas akhir bagaimana usia dan umur dihitung. Usia berakhir
perkembangannya ketika seseorang menghembuskan nafas terakhirnya, sedangkan
umur masih terus berjalan sampai mereka dilupakan oleh penerusnya di dunia.
Heuheuheu
Namun,
tulisan saya kali ini bukan tentang perbedaan usia. Tulisan saya lebih ke bagaimana
salah satu bagian dari hidup yang mampu memperpanjang umur kita, yakni
silaturahmi.
Silaturahmi
bisa dimaknai sebagai aktivitas berkunjung, ngopi, tertawa dan begitu banyak
aktivitas lain yang menunjang hubungan antar dua orang atau lebih menuju
keakraban, permaafan serta hal baik lain demi terbinanya ukhuwah antar umat
manusia.
Salah
satu aktivitas yang bisa terjadi dalam silaturahmi adalah berbicara, tertawa
serta saling berbagi tentang luka yang dialami. Tujuan sederhananya adalah
untuk menceritakan kegelisahan, kegundahan, sambat
untuk mendapatkan kelegaan, kebahagiaan serta kepuasan atas terpendamnya
kekesalan yang ada di hati.
Berbagi
cerita tentang luka yang sedang dialami seakan menjadi hal wajib yang terjadi
dalam kegiatan silaturahmi.
Kali
ini saya lagi-lagi disuguhi hal lucu yang menemani saya menulis tesis di Warung
Qirun. Banyak golongan memang yang menghabiskan waktunya di warung nan
sederhana ini. Mulai dari golongan di kelas bawah maupun yang hidup sangat
layak jika ditinjau dari pencapaian ekonomi.
Namun,
yang membuat malam ini menjadi lucu adalah bagaimana dua dari sekian banyak
pelanggan yang mempunyai taraf hidup layak bahkan golongan top class jika
dibandingkan oleh pelanggan lain menceritakan luka mereka, khususnya dalam hal
ekonomi.
Saya
membayangkan bagaimana perasaan pelanggan lain mendengarkan “cerita sambat”
dari dua tokoh tersebut. Lebih tepatnya bukan perasaan pelanggan lain,
melainkan perasaan saya secara pribadi. Wkwkwk
Saya
pun, yang sedang mendengar obrolan mereka, juga merasa lucu ketika mendengar
orang yang terlihat aman dari kendala ekonomi ternyata masih juga menderita di sector
ekonomi bahkan mungkin membuat kepala terasa pening lebih dari beberapa dari
kami yang notabennya tak sehebat mereka dalam mengelola keuangan. Heuheuheu
Kemudian
cerita sambat mereka diakhiri oleh saling gojlok, saling umpat atau lebih
tepatnya saling menertawakan masing-masing derita yang terjadi. Setelah prosesi
menertawakan luka masing-masing, secara magis tercipta tawa dari kedua orang
yang sedang bercerita lukanya, tentang cicilan, tentang gaji karyawan, tentang pandemi
yang belum usai dan lain-lain.
Saya,
dan juga mungkin sebagian lain dari pendengar yang selalu melihat dua pelanggan
menjadi top class juga ikut menertawakan luka mereka. Dan bahagia tercipta dari
semua yang hadir di malam ini. Hingga saya menarik kesimpulan, salah satu
bagian dari silaturahmi yang harus terjadi adalah menertawakan luka
masing-masing.
Agar
kita tahu, bahwa luka hanya sementara dan akan ada bahagia yang tercipta
setelahnya asal kita bisa mencari kelucuan dari luka tersebut. Untuk
ditertawakan. Setidaknya agar kita lupa bahwa sedang terluka. Heuheuheu
:-) ^_^
BalasHapusMaksud anda bagaimana? Disini dibuatkan kolom komentar, bukan sekedar emoticon
Hapus(-_-)