Penonton pertunjukan waygn itu tumpah ruah, ruang yang tersisa yang terdekat berjarak sekitar 6-7 baris. Dibaris pertama sampai kelima penuh dengan penonton berjejer lesehan menikmati lakon Petruk mencuri jimat kalimosodo. Sewaktu aku ingin duduk di baris kebelakang, aku melihat tempat kosong didepan namun berada disisi pinggir, lebih tepatnya di tepian. Aku putuskan untuk berindah ke tepian kosong tersebut. Tak diduga ada perempuan berkerudung hitam disana.
"Nes? Kau menonton wayang?" Tanyaku kaget mengetahui perempuan berkerudung hitam tersebut adalah Nesa.
"Iya Yo. Kamu sendiri dari mana? suka wayang juga?"
"Hahaha. Enggak juga Nes. Karena lagi gabut aja terus mampir kesini."
"Wayang itu keren lho Yo. Akhir-akhir ini aku sering lihat wayang di Youtube, mumpung sekarang ada disini sekalian aku kesini."
"Nes? Kau menonton wayang?" Tanyaku kaget mengetahui perempuan berkerudung hitam tersebut adalah Nesa.
"Iya Yo. Kamu sendiri dari mana? suka wayang juga?"
"Hahaha. Enggak juga Nes. Karena lagi gabut aja terus mampir kesini."
"Wayang itu keren lho Yo. Akhir-akhir ini aku sering lihat wayang di Youtube, mumpung sekarang ada disini sekalian aku kesini."
Ngapain sendirian di
tepian Nes?
“Kalau didepan banyak
orang ngrokok Yo. Aku gak kuat kalo banyak asap rokok disini.”
“O.. begitu Nes, aku
boleh duduk sini? I swear not smoke this time.”
“Boleh Yo. Asal gak ada
asap disini.”
“Oke, aku gak ngrokok
semalam ini Nes.”
Kemudian di kerumunan orang yang menikmati pagelaran wayang,
Aku dan Nesa menikmati pagelaran wayang. Memecah gelapnya malam menjadi hitam diiringi
dengan gerak-gerik punokawan yang sukses membuatku melihat senyum dan tawa Nesa
yang telah lama tak ku jumpai.
Meskipun aku dan Nesa saling tertawa dan selslau
mengomentari lakon pewayangan tersebut, aku tak berani menyinggung perubahan
sikap Nesa yang menjauh atau bahkan menghindar dariku. Ribuan pertanyaan yang
menyesak didada urung ku utarakan karena aku takut bisa merusak suasana malam
ini. Biarlah itu menjadi rasa penasaranku. Setidaknya malam ini kami begitu
hangat. Entah, aku merasa gembira melihat sahabatku yang dingin kembali menjadi
cair. Seperti Petruk yang mencairkan tawa setiap hadirin di pagelaran ini.
“Yo! Aku minta maaf ya?”
“For what Nes? Karena membuatku
tak bisa merokok malam ini?”
“Bukan Yo! Karena sikapku
yang dingin sejak perdebatan kita yang lalu tentang....”
“Iya Nes. Santai saja. Menurutku
itu pilihan paling bijak yang bisa kau ambil. “
“Ha? Bijak? Bijak dari
mananya?”
“Kau menghindariku
karena kau merasa gak enak kepada...... dan kau benar, lebih baik aku yang
kecewa kepadamu daripada ...”
“Kau terlalu dalam memikirnya
Yo! Kenapa kau juga berlaku dingin kepadaku Yo?” tanya Nesa
“Sebenarnya aku tidak
dingin kepadamu Nes. Hanya karena kita tak pernah berbicara sehingga aku
terkesan angkuh dan Sombong.”
“Syukurlah kalau begitu
Yo. Aku minta maaf jika sikapku kurang begitu pas dimatamu.”
“Sudah tak ada yang
perlu dimaafkan Nes, karena memang kau tak salah.”
Waktu beranjak semakin pagi. Embun mulai hadir diantara
penonton wayang. Embun membiaskan kehangatan yang tercipta di pagi ini. Beberapa
penonton mulai beranjak meninggalkan pagelaran. Mataku cukup perih tuk bertahan
melihat pagelaran ini, namun karena Nesa tak mengiyakan ketika ku tawari untuk
beranjak pulang, ku putuskan untuk menemaninya sampai ia ingin pulang. Ketika pagelaran
semakin mengujung pada akhir cerita ada lelaki tua duduk dibelakan anku dan
Nesa. Saat kutoleh kebelakang rupanya lelaki tua itu akan menyulut rokoknya. Dengan
sopan ku tegur lelaki itu.
“Maaf pak, bisa mohon
untuk tidak merokok di sini? Teman saya terganggu kalau ada asap rokok.”
“Kalau gak mau kena
asap rokok ya masnya pindah ke belakang saja mas. Ini kan tempat umum?”
Cukup kecewa dengan
respon lelaki tua itu aku menjawab dengan nada sedikit tinggi “Kenapa bukan
bapa, saja yang pindah ke belakang dan merokok sepuasnya di sana? Kami sudah
dari tadi di sini!”
Akhirnya lelaki tua itu mengalah dan tetap duduk
dibelakang kami. Lelaki tua itu seperti mengawasi kami, atau lebih tepatnya
mengawasi Nesa. Seringkali saat kutoleh kebelakang, ia sedang memperhatikan
Nesa. Dan aku mulai tak nyaman dengan kehadirannya.
Pagelaran wayang hampir berakhir dan terlihat Nesa mulai
membereskan tempat duduk dan tasnya. Karena melihat gelagat Nesa yang akan
pulang, akupun membereskan tempat dudukku dan menawari untuk mengantar Nesa
pulang. Sungguh tak tega di pagi yang dekat dengan subuh ini melihat Nesa
pulang sendiri. Apalagi melihat lelaki tua ini sedari tadi mengawasi Nesa.
“Ku antar pulang Nes?”
“Gak usah Yo! Aku bawa
motor kok.”
“Ya sudah kalau begitu
aku buntuti sampai rumahmu.”
“Nggak usah juga Yo. Aku
sudah ada yang menemani kok. Terima kasih sudah menemaniku melihat wayang dan
terima kasih juga sudah tidak merokok semalam suntuk ini. Aku pamit pulang dulu
Ya”
“Bapak! Ayo pulang,
wayangnya sudah selesai.” Ucap Nesa kepada lelaki tua dibelakang kami.
Aku terpaku diam. Ternyata lelaki tua yang kularang
merokok adalah Orang Tua Nesa. Dengan sopan lelaki tua itu mengucap salam
kepadaku.
“Mari nak, kami pulang
dulu. Assalamu’alaikum”
“Waalaikum salam Wr.
Wb.” Aku terpaku kaku.
Komentar
Posting Komentar