Manusia, Membingungkan

Tepat di bawah lampu merah, ia menoleh ke kiri dan ke kanan.
Tertatih ingin menyeberang namun takut akan terlindas oleh lalu lalang kendaraan.
Semut hitam itu ingin menyeberang, sekedar ingin mencoba keluar dari rutinitasnya.
Sudah hitam, di aspal pula!
"Bagaimana kendaraan tak akan melindasku?" Pikir semut tersebut.
Semut mencoba bergeser, lebih mendekat pada "Zebra Cross".
Semut itu bergumam "Manusia sudah bisa memanusiakan hewan rupanya. Memberi nama Zebra pada penyeberangan jalan. Tapi apakah manusia sudah memanusiakan manusia?"
Semut itu bingung.
Sudah memanusiakan hewan, tapi sepertinya malah belum memanusiakan manusia itu sendiri.

Memang manusia begitu rumit pikir semut itu.
Semut itu masih belum menyeberangi jalan.
Ia takut merasa lancang.
Ia takut membuat manusia lain merasa iri dan sedih karena ia diagungkan oleh manusia lainnya, sedangkan manusia sendiri belum bisa memanusiakan yang lain.

Semut itu semakin bingung.
Dan disela-sela kebingungannya ia teringat lagu Qasidah dengan judul Perdamain di zaman milenium.

"Banyak gedung kau dirikan, kemudian kau hancurkan. Bingung-bingung ku memikirnya."
Manusia memang membingungkan kata semut.

Kemudian semut ingin bertanya kepada Bulan yang telah lama mengamati manusia dari zaman dahulu.

Sambil meratap ke langit, semut melihat Bulan itu.
Malam ini bulan terlihat begitu bahagia ternyata.
Parasnya, memberikan kedamaian bagi siapa yang memandangnya.
Dan bulan pun seakan ingin menghibur semua makhluk yang berada di bawah pancarannya.

Benar, esok bulan akan menyempurnakan bentuknya.
Setiap tanggal 15 bulan, purnama akan terbentuk.
Dan semut sangat menyukai purnama.

Namun, kemudian semut khawatir.
Bukankah besok terjadi Gerhana?
Lalu bagaimana dengan makhluk yang berada di bawah sinar rembulan?
Semut berharap pada manusia agar esok mereka melaksanakan Sholat Gerhana.
Agar bulan tetaplah menyinari penuh dengan kedamaian.
Semut takut bulan akan kehilangan kharismanya jika pada saat gerhana banyak yang lebih memilih menontonnya daripada mensholatinya.
"Seandainya aku bisa mengikuti jamaah sholat gerhana, mungkin akan ku tunaikan sekhusuk yang aku bisa. Tapi apalah daya aku hanya seekor semut. Yang untuk menyeberang jalan pun masih kebingungan."

"Cukuplah perjuangan manusia menjadi pemimpin di bumi ini." Pikir semut.
Mereka sudah menunaikan tugasnya dalam waktu yang cukup lama.

Jika pun sekelompok semut diminta untuk menjaga dunia dan seisinya, maka kelompokku akan berusaha sebaik mungkin. Menjadi seperti manusia yang tetap merawat bumi seisinya dengan baik.

Kemudian semut ingin menyalahkan matahari.
"Kenapa tak bergeser sekian derajat saja?" Tanya semut ke matahari
Agar tidak terjadi gerhana yang menyebabkan pikiran semut menjad kacau.

Tapi semut sadar, bahasanya tak akan ditangkap oleh rembulan, matahari atau juga gerhana.

Semut melihat ada manusia yang tergeletak dijalanan. Tertabrak oleh pengendara lain.
Dia ingin menolong, namun ukurannya yang kecil membatasinya.

Semut tiba-tiba menangis dan menyesali dirinya.
Dia teringat petuah Mbah Yai Maimon Zubair yakni "Jika ada seekor semut tercebur ke air, maka tolonglah. Siapa tahu semut itu bisa membantumu masuk ke surga-Nya."

Dengan petuah itu, semut merasa tersanjung karena telah dimanusiakan oleh manusia.
Padahal semut hanyalah seekor hewan.
Karenanya ia sangat menyesal karena tak bisa membantu manusia yang tergeletak dijalanan itu.
Tapi anehnya, beberapa manusia malah mengumpat saat melihat ada yang celaka di jalanan.
Seperti misalkan banyak yang mengumpat dan menertawakan ketika ada kecelakaan karena menabrak tiang listrik.

Bukannya di Dawuhnya Mbah Maimon tidak disebutkan bahwa semut itu tercebur karena iseng atau berpura-pura atau yang lainnya?
Kenapa harus di umpat?

Memang manusia cukup aneh kata semut.
Bingung ku memikirnya.

Komentar